Saturday, 5 December 2015

Hanya ingin Kau Dengarkan

Untuk kau yang sejatinya tak sedetikpun berhenti berputar dikepala.
Adanya kuanggap sebagai embun pagi yang basah.
Yang pada akhirnya menguap jadi awan atau kan jatuh ketanah.
Sedang aku adalah daunmu, akulah sandaranmu, namun terus menopangmu bukanlah dayaku.
Aku menikmati kau yang menyejukkan, tapi ketika kau harus hilang aku tak bisa melawan keadaan.
Bisa apa aku selain menunggu esok pagi ketika kau kembali.

Jadi begini.
Terlalu banyak hal yang ingin ku bagi. Sekali saja aku ingin kau jadi pendengar setia.
Tapi apa daya segalanya hanya sebatas gemuruh dihati yang sewaktu jadi hujan yang membasahi pipi.
Aku berharap bahwa menatap matamu ketika bicara mungkin akan kutemukan jawabnya.
Jadi sejenak kubayangkan, di bibir pantai itu aku bersandar dibahumu. Bersama sayup angin dan derai ombak yang bergemuruh.  Menyamakan gelombang hati, akal, dan pikiran yang kian ricuh.
Jadi sayang, pelankan suara nafasmu. Akan kueratkan jarimu dalam genggamanku.
Tentu saja jika kau ijinkan.
Cukup dengarkan saja aku bicara. Jangan kau menyela.
Aku ingin dengar kau bicara nanti.
Tapi pelan pelan saja, kutunggu hingga kau jernih tanpa emosi.
Karna kau tau pasti ini soal hati.

"Aku bahkan tak apa jika kau merubah hati.
Aku sedang pada proses menikmati luka luka ketika pada saat yg sama ingin kau disisi.
Sebenarnya aku sudah terbiasa. Menahan rindu sendiri. Membaca sisa pesan pesan kita dan menangis dalam sepi.
Sejujurnya merelakan kau dengan seorang yang lain membuat hatiku perih. Logika berkata tak apa, hati sebaliknya.
Tak harus kamu tau. Tapi hadirmu membuatku lupa sedang menikmati luka.
Yang kutau, aku sekejap bahagia. Kelabuku jadi biru. Meski tanpa sadar sedang menggores luka luka baru.
Maaf jika dalam hal ini aku tampak bodoh. Aku yang tak seberapa dibandingkan banyaknya pilihanmu tak berhak menuntutmu ini itu.
Beberapa orang mungkin jadi prioritasmu. Tapi bukan aku.
Kabarmu adalah hal yang ingin ku tau, tapi kau mungkin terganggu jika kutanya setiap waktu. Jadi aku diam dalam setiap kekhawatiran.
Tak menghubungimu bukan berarti aku tak peduli.
Aku hanya takut jadi seseorang yang tak diharapkan. Sebab adaku bukan senyummu.
Ya.. Aku tak berharap akulah segalamu, duniamu. Apalagi akhirmu.
Mungkin aku hanya sebait prosa dalam perjalananmu menulis buku waktu.
Maaf untuk gemuruh perasaan yang sampai hari ini masih membelenggu. Juga beberapa isak isak rinduku yang membebanimu.
Ada saatnya nanti kau akan bosan.
Kau lupa sedang ingin berjuang. Lupa dengan kata kata yang pernah kau ucapkan. Lupa bahwa kau pernah sangat ingin bertahan dalam ketidakmungkinan.
Aku bukan lagi yang kau pilih.
Akan tiba saatnya celotehku yang seperti ini membuatmu risih.
Sementara bagiku ini adalah kata hati yang tak mampu kuucap karna terlalu perih.
Kau akan sengaja menjadi seseorang yang membosankan.
Jadi seseorang yang sengaja mengabaikan. Hingga nanti aku kan berakhir dengan jenuh.
Kau takkan lagi rindu. Sementara aku masih begitu.
Kau menemukan yang baru, sementara aku masih diam pada tempatku yang kepadamu.
Aku akan kembali pada masa menikmati luka sendiri.
Menahan sesak rindu yang kian perih. Menepis rasa rasa ingin jumpa, namun slalu memelukmu dalam rangkaian doa.
Jika saja nanti ada waktu untuk kita berdua. Dapat bersama, berbagi cerita, hingga tua. Selamanya."

.....
Kubuka mata. Kau tak disini. Hatimu entah kemana jauh berlari.
Dan aku terpaku dalam sepi menanti. Karna tampaknya kau punya hati lain untuk pergi.
Kadang aku hanya ingin kau dengarkan ketika hati tak lagi mampu menyimpan sendiri.

Sisilia Tantri | 04 Desember 2015

Tuesday, 3 November 2015

Pelangi di Bulan Oktober


Kau adalah kumpulan-kumpulan luka yang paling aku cinta. Kesalahan yang membenarkan jalanku. Cerita singkat, dari panjangnya aku mengingat. Kau tak terganti, sejauh apapun kau melangkah pergi. Di hatiku, kau selalu punya tempat khususmu sendiri. Datanglah lagi nanti lain hari, ketika cinta bukan datang hanya untuk mencoba, ketika kaki tak lagi datang hanya untuk berlari lagi, tapi ketika cinta datang karena dia memilih untuk tinggal; Selamanya.



The Way I Lose Her: Pelangi di Bulan Oktober - mbeeer.tumblr.com

Wednesday, 28 October 2015

Perihal Kejelasan yang Kau Minta Sebelumnya



Dalam sepi rasanya aku hanya ingin menangis. Tapi ada pilu yang lebih dalam terasa didada hingga butir air hanya mengendap dibawah kelopak mata.
Sepertinya enggan menetes karna tau lelehannya takkan cukup mampu  menggambarkan seberapa besar sedih yang dirasa.
Ketika beban pilunya kian terasa berat luar biasa.

Semalam kau bilang kau kehilangan rasa. Kedengaran seperti itu di sayup sayup telinga.
Aku sedikit tak mencernanya. Hembus angin yang dingin mungkin sedang memekakkan saraf didalamnya. Mencoba mengaburkan perihal yang kau ucap. Agar aku tak begitu terkejut dibuatnya.
Kutanya sekali lagi, dengan hati yang sedikit kacau berharap yang sebelumnya menyelinap dipendengaran adalah salah sangka dalam perasaan.
Namun sama. Kau ulang lagi kalimat yang sepertinya senada.
Aku cukup mengerti. Tak perlu kutanya lagi berkali kali.
Kau mungkin akan bosan karna tau aku pura pura tak mendengar.
Memang yang kau maksutkan bukan rasa yang disebut cinta.
Aku tau kau mungkin mulai kelelahan dengan ketidakpastian.
Aku paham jika mungkin bagimu ujung tak lagi kelihatan.
Tak ada kita berdua terlihat bersama dalam tujuan yang kita inginkan.
Tapi kau selalu tau , kau sama masih akan tetap mencintai bagaimana bentuknya.
Disaat bersama atau berjalan di arah berbeda.

Maafkan aku jika tak menahanmu disisiku.
Aku sangat tau bagaimana peluhmu harus jatuh saat memperjuangkan.
Aku hanya tak bisa menahanmu dalam hubungan yang terlihat seperti sia-sia.
Aku tak bisa membiarkan kau terluka terlalu lama. Biar aku saja yang rasa.
Sebelumnya kau dan aku sudah sama-sama bicara.
Kita sepakat tak ada yang akan kita dapat selain luka jika memaksa bersama.
Jika kau pikir aku terlalu tega melepaskan. Kau salah besar.
Kau pikir aku tak butuh jiwa yang besar untuk rela melepaskan, bahkan ketika yang kuingini adalah hidup bersama dengan kau yang kuharap sebagai orang terakhir.
Bukan sengaja menyiakan seperti katamu.
Bukan juga dengan sengaja membiarkan hatimu jatuh terantuk dan kembali patah hingga berdarah. Tetapi bukankah ini perihal kejelasan yang kau minta sebelumnya.
Kau bilang kita tak memiliki tujuan yang sama.
Oh tidak. Tujuan kita sama, kau harus tau itu. Hanya saja kita tak pernah sepakat dengan apa kita berangkat kearah tujuan yang kau minta.
Kita tak bisa memilih meski pilihan itu sebenarnya ada.
Ibarat sepatu kanan, kau akan tetap dikanan. Berselisihan jalan dengan si sepatu kiri.
Keduanya seperti berpasangan meski sebenarnya mereka tak pernah sama dalam langkah.
Kadang aku masih berpikir apakah berpasangan haruslah berjalan berdampingan? Dengan langkah yang selalu sama?
Aku selalu dibuat buntu oleh pilihan.
Mempertahankan luka atau melepaskan luka.
Bersama dalam perbedaan dan saling terluka. Atau menyamakan jalan dan membuat pihak lain yang terluka.

Dahulu kita mungkin pernah saling menguatkan. Kita pernah sama-sama takut kehilangan.
Kau adalah seseorang yang kucintai dengan sangat, pemilik pelukan paling hangat.
Kau adalah seseorang yang aku inginkan lama-lama menikmati hujan.
Tak perlu kemana mana karna bersamamu seolah semuanya sempurna.
Bersamamu kuharap waktu berjalan dengan lambat, agar dapat kupandangi matamu lamat lamat.
Menikmati hujan, mengecup segala keresahan tanpa harus mengatur tujuan.

Namun ini akan jadi saatnya,  bersama seseorang lain mungkin akan kau temukan jalan yang pasti memiliki ujung.
Yang dengannya kau bisa berjalan berdampingan tanpa takut saling berselisihan keyakinan.
Nanti akan tiba saatnya , ketika kamu mulai kembali tertawa. Dengan hati yang tak lagi terluka.
Bersama seseorang  yang memang seharusnya ada, yang bagimu hadirnya adalah sebagai jodoh dan takdir dari Sang Maha Membolakbalikan Hati.

Aku lebih dari sekedar yakin bahwa melupakanku takkan jadi hal sulit bagimu.
Meski bagiku melupakanmu harus lebih dari sekedar melupakan.
Dan pergi darimu harus lebih dari sekedar pergi.

Sayang, untuk yang terakhir ijinkan aku jadi hujanmu.
Yang semusim menyejukkan, lalu kau rindukan saat kemarau mulai panjang dan membosankan.
Rindui aku dalam seduhan kopi pahit dalam senggang waktu lepas penat kerjamu.
Tersenyumlah, karna meski pahit aku mampu sedikit membuat kau lebih bergairah.
Aku tau nanti aku takkan lagi dihatimu.
Aku takkan lagi ada sebagai secuil sebab tawamu.
Yang kutau, meski tak mampu bersatu, kau dan aku pernah dalam satu perjuangan menghadapi luka karna rindu.


Sisilia Tantri | Banyuwangi, 27 Okt. 15

Wednesday, 14 October 2015

Rindu Hujan?

Disemburat warna senja aku terdiam.
Ditemani secangkir kopi hitam.
Menunggu hujan.
Lama sudah rasanya tak bersua.
Masihkah hujan selalu sama?
Selalu membawa kenangan.
Kenangan yang hangat sekaligus dingin. Bercampur aroma kopi dan tanah basah.

Aku selalu menyukainya.
Aku selalu menemukan rasa manis disetiap seduhan kopiku yang pahit.
Dan hujan selalu saja sukses memenuhi hatiku dengan hangat kerinduan.
Keduanya bersekongkol membuaiku dengan pahit yang hangat.
Membuat tubuhku tak bergeming. Sedetik kemudian hati dan logika beradu.
Menciptakan hujan kecil disudut mata.
Apakah rindu menemukan jalannya.
Atau hanya kan kembali ke tuannya?
Mungkinkah rindu terlalu lelah dengan jarak?
Mungkinkah rindu mengenal jenuh?
Haruskah aku bertanya pada kopi pahit ini?
Atau haruskah aku bertanya pada ribuan tetes hujan?
Aku terlalu banyak bertanya. Dan tak satupun kutemukan jawabnya.
Kadang kupikir rindu hanya butuh pelukan atau bahkan kecupan.
Dan aku butuh kamu untuk melepas rindu.
Bersama hujan dan kopi pahit yang jadi manis karna adanya kamu.

"Aku berharap rindu tak mengenal jenuh dan tak pernah membenci jarak. Tak peduli apa yang terjadi, kuharap kamu selalu disisiku. Genggam tanganku, karna jika kamu jatuh, aku kan jatuh bersamamu."-seseorang yang mencintaimu.
Banyuwangi, 14102015

Sunday, 27 September 2015

Semakin Mencintaimu

Apakabar cinta yang disana?
Masihkah dia terawat baik dalam hati itu?
Kenapa kulihat air mukamu semakin kelelahan.
Mungkinkah cinta yang disana tak lagi terasa menyenangkan?
Apakah dia memberimu beban?

Saat kutulis ini semua pertanyaan berdesakan dalam pikiran.
Mataku terpaksa terjaga.
Hatiku teraduk tak karuan, sementara kau lelap dibawah lampu temaram. Terbalut selimut tebal penuh kehangatan.
Ditengah dinginnya malam ini aku selalu membayangkan kau tidur dengan wajah tersenyum.
Sebab kau tau, tak ada hari yang terlewat tanpa aku yang merindukanmu.
Ada aku disini yang semakin hari semakin mencintaimu.
Aku mencari beberapa alasan. Tapi yang ada hanya aku tak bisa menahan diriku untuk tidak jatuh.
Tak melihatmu setiap harinya membuatku tersiksa.
Merindukanmu setiap harinya membuatku jatuh cinta.
Membelai pipimu adalah hangat yang kuharap aku bisa tanpa harus bermimpi setiap malamnya.
Terlalu banyak hal yang ingin kusampaikan.
Dan dari sekian kata yang ada dipikiranku hanya mampu kukatakan 'aku mencintaimu'.
Sungguh.
Rasanya lidahku kelu.
Semakin aku mencintaimu. Semakin aku takut kehilanganmu.
Semakin aku mencintaimu. Semakin aku membenci jarak.
Semakin aku mencintaimu. Semakin aku takut akan perbedaan.
Semakin aku mencintaimu. Semakin aku takut membuat kau kecewa.
Semakin aku mencintaimu. Semakin aku takut kau lelah dan menyerah.
Semakin aku mencintaimu. Semakin aku takut kau tak mengerti aku.
Semakin aku mencintaimu. Semakin aku takut untuk bahagia. Takut lupa mempersiapkan hati untuk terluka.
Dan semakin aku mencintaimu, yang paling kutakut adalah kau berhenti mencintaiku jauh sebelum aku sempat tau.

Mencintaimu memang tak menakutkan.
Hanya saja semakin mencintaimu aku menjadi semakin ketakutan.
Bukan saja takut terluka.
Tapi bisa saja melukai.

Sunday, 23 August 2015

Mendekatlah, Dekap Aku.

Aku sangat dingin. Bisakah kamu mendekapku sebentar? Bibirku gemetar. Sekujur tubuhku kaku.
Sudah beberapa selimut tebal ditubuhku, menempel tapi tak menghangatkan.
Sekali lagi, bisakah kamu mendekapku? Sebentar saja. Jangan biarkan dingin masuk kehatiku. Bagi sedikit saja hangat milikmu. Aku tak berharap banyak.
Aku seperti mau mati disini. Biar kucicipi sedikit saja sebelum aku pergi. Ingin kurasakan hangat pipimu menyembur ke telapak tanganku yang tak lembut ini.
Masuklah dalam selimut dinginku yang barangkali bisa jadi hangat karna adanya kamu. Biar kupandangi wajahmu lebih dekat agar hangatnya mencairkanku.
Aku tak ingin membisikkan apapun ke telingamu. Kutau, kau mungkin takkan percaya. Bagimu aku tak lebih dari ratu drama.
Kamu harusnya maklum kenapa aku tak bicara. Aku bahkan benci diriku sendiri saat berkata-kata. Mungkin kau juga.
Jadi bukankah lebih baik jika aku diam? Aku hanya ingin diamku menahanmu tetap diselimut dinginku. Aku takkan bersajak, aku takkan berpuisi.
Mendekatlah, peluk aku, kan ku peluk kamu lebih erat sebelum kamu memaksaku untuk melepasmu.
Biar kucumbui dulu hangat tubuhmu sebelum kamu jauh berlari menghilang dari sudut mataku.
Aku tak ingin meneteskan air mata karna merindukanmu. Sungguh. Tapi aku melanggarnya.
Kamu hanya perlu menutup matamu. Jangan pandangi aku dengan tatapan aneh itu. Jangan bicara karna kau tau mungkin aku takkan pernah mengerti arti dari ucapanmu.
Siapkan saja bahumu untuk kepalaku bersandar, lenganmu untuk mendekapku dengan rasa sabar. Jangan kasihan. Aku tak pernah selemah itu. Kau tau aku pintar berdrama. Tapi tak pernah berdrama jika itu tentang perasaanku terhadapmu.
Dekap aku lebih erat, berikan beberapa hangat. Sebentar saja, sebelum fajar tiba.
Sebelum mimpi ini kemudian tenggelam.

"Kamu, adalah sehangat hangatnya dekapan yang kurindukan. Yang paling ingin kucumbui keberadaannya tanpa ingin kulepaskan."

Saturday, 22 August 2015

Lelah bersajak.

Aku tampaknya terlalu kesepian. Disini dingin. Dan aku tak biasanya tidur terlalu awal tapi aku melakukannya hanya karena tak ingin memikirkan seseorang yang membuatku gila. Kali ini aku sedang tak menulis (sebut saja mengetik) sajak. Aku juga tak menganggap sedang menulis prosa. Ini hanya sebuah tulisan. Entahlah. Aku terbangun dari tidurku yang kepagian dan kemudian hanya memikirkannya. Seseorang yang entah dia siapa, sekarang dimana, memikirkan apa, dan siapa dihatinya. Kuraih ponselku mencari sebuah jawaban, adakah disana dia berkirim pesan dan ternyata tak kudapatkan apapun kecuali pesan spam. Ah siaaaalll...Ada sedikit pahit yang kemudian menelusup ke dada sebelum kemudian mataku mencoba terpejam lagi. Lama. Dan ternyata tak bisa. Aku hanya mendapatkan dia terus berputar dikepalaku tanpa jeda. Membuat perutku kemudian lapar. Serius aku lapar, tapi ini jam 2 pagi dan aku tak punya makanan apapun untuk dikunyah. Semacam orang susah kau tau. Hahaa kutertawakan diriku sendiri karena kebodohanku tak kunjung habis meskipun umurku sudah hampir 22. Kataku ini wujud syukurku pada Tuhan karna masih diberi hidup meskipun sebodoh ini. Yoi, lupakan ini tak penting.
Jadi apalagi yang bisa ku deskripsikan tentang tengah malam ini kecuali dingin, gelap, dan merindukanmu? Sudah itu saja. Trimakasih.

Friday, 7 August 2015

Aku Tak Apa

Beberapa hal kadang datang hanya untuk berlalu.
Sama seperti rasa dan kecewa. Juga seperti rindu dan beberapa kesepian.
Seperti dirimu.
Yang kutahu adanya hanyalah sementara.

Waktu berjalan. Segalanya berubah. Tapi masih terasa sunyi disini.
Aku tampaknya kehilangan rasa karna semua yang terjadi mungkin akan sia sia.
Berkali kali saling pergi. Dan tak lama kembali. Hangat sesaat lalu dingin lagi.
Ini bukan perkara kejar mengejar. Bukan perkara siapa yang lelah duluan. Bukan bagaimana dalam hal ini kau yang berjuang sendirian.
Bagiku kau dan aku hanya tak bisa mengerti satu sama lain. Karna yang kutahu kau dan aku memang tak pernah benar benar mengenal.
Aku pernah berusaha jadi yang kau inginkan. Hanya karna tak ingin melihat kau kecewa sebab aku. Aku yang keras kepala. Aku yang egois. Aku yang mendewakan rasa gengsi.
Kau tahu segalanya tentang itu.
Kau juga tahu aku yang dengan naif menyayangimu. Tapi tak memiliki daya merubah segalanya.
Yang aku bisa hanya membuatmu muak dengan kata maaf yang selalu ku ucap berulang.
Jika bagimu pergi adalah yang terbaik. Aku tak apa.
Tanpamu mungkin akan sedikit berbeda. Tapi tak akan merubah segalanya.
Tanpamu mungkin akan kulalui rindu rindu yang dingin. Yang mungkin menarik air mataku jatuh ke pipi bersama beberapa alunan lagu yang penuh kenangan.
Sepotong suaramu yang sejak pertama dulu membuatku begitu jatuh cinta. Sepanjang malam berdengung dikepalaku tanpa jeda.
Akan bahagia jika kau datang dalam mimpi karna aku tak terlalu berharap segalanya datang dalam kenyataan. Meski pernah sangat ingin berada disampingmu.
Aku begitu lemah dalam berharap karena terlalu takut kecewa.
Aku tak pernah hangat dan membosankan.
Jadi pergilah. Sudah kubilang tak apa.
Beberapa hal tak bisa dipaksakan bukan?
Jika benar adanya kau disana baik baik saja. Aku turut berbahagia.
Menjadi naif kadang memang menyedihkan.
Tapi jika itu tentangmu. Tak mengapa.
Aku sudah cukup bahagia begini saja.

-teruntuk kamu dari jarak ribuan kilometer-

Sunday, 2 August 2015

Intinya. Aku Pergi Saja.

Disini. Satu satunya tempat bersembunyi darimu.
Tanpa takut dan malu mengakui perasaanku.
Dibalik semua diam diamku terhadapmu.
Dibalik kebimbanganku sendiri.
Ada rindu yang menyapa tak seperti biasanya.
Kali ini merindukanmu seperti takut kehilangan.
Tak begini seharusnya.
Terlalu naif mengatakan ini jatuh cinta. Bahkan ketika namamu saja masih kacau dipikiranku.
Kita hanya orang asing yang saling bercerita.
Ketika aku mencoba melihat kedalam hatimu. Kamu menutup rapat dirimu.
Dan aku tak berusaha mencari kunci yang tepat untuk membukanya. Tak juga mengetuknya hingga terbuka.
Sebab tau aku takkan menemukannya.
Bagaimana bisa menemukan kunci pembuka untuk hati orang lain ketika hatiku sendiri saja enggan terbuka.
Aku menyerah, bahkan saat belum memulai apapun.
Apa yang kurasa. Bagaimana denganmu.
Biar semuanya menguap.
Simpan saja kebahagiaan yang pernah ada.
Sampai memorimu cukup lelah menyimpannya.
Sampai waktu mengikisnya jadi kenangan usang yang entah pantas diputar kembali pada masa nanti.
Cerita kita bukan apa apa.
Tak menarik.
Tak melegenda. Dan apalah sebagainya.
Cerita kita hanyalah tentang perasaan yang hanya perasaan. Seperti katamu.
Aku menyerah. Seperti yang kamu inginkan.

Malang, 02 Agustus '15
02.55 am.

Monday, 13 July 2015

"Adakalanya Perasaan hanyalah Perasaan"

Hai. Laki laki asing disudut kota terasing.
Entah darimana semuanya berawal. Mengenalmu kadang terasa menyenangkan.
Tertawa karnamu jadi candu yang tak ingin kulewatkan.
Tapi apa yang kita dapat dari hanya bersapa lewat pesan?
Bicara tentang perasaan pun sepertinya terlalu awal.
Apa yang kutau darimu?
Apa yang kau tau dari aku?
Tak ada. Begitu sepertinya.
Kita hanyalah rangkaian pesan.
Berjumpa dalam masing masing pikiran.
Kata rindu serasa hanya bualan..berharap jika saja itu bisa jadi benar.

Jangan buat aku jatuh terlalu dalam. Bangkit ketika lutut penuh luka bukan perkara mudah.
Sama seperti kembali menata hati yang sudah uzur untuk jatuh cinta lagi.
Kamu salah jika mengira aku berlari.
Bagaimana bisa ketika berjalan pelan meninggalkanmu saja rasanya tak ingin.
Untuk apa pula aku harus jauh berlari ketika kamu bahkan tak mengejar.
Yang ada aku akan lelah sendirian.
Aku disini. Masih diam begini.
Bersembunyi. Dibalik ego itu, dibalik luka luka masalalu.
Berlindung dari ketakutanku untuk kecewa.
Jika saja kamu menemukanku.
Tolong bantu aku. Bangunkan saja aku.

Tuesday, 10 March 2015

Last Time - Secondhand Serenade


I'm stuck with writing songs
Aku terus menulis lagu
Just to forget what they really were about
Hingga lupa arti dari semuanya
And these words are bringing me so deeply insane
Dan kata-kata ini membuatku jadi tak waras
That I don't think I can dig my way out
Hingga sepertinya aku tak bisa lepas darinya

BRIDGE
I couldn't breathe through it like I need to
Aku tak bisa bernafas melalui lagu seperti mauku
And the words don't mean a thing
Dan kata-kata tiada artinya

CHORUS
So I'll sing this song to you for the last time
Maka akan kunyanyikan lagu ini untukmu 'tuk terakhir kalinya
And my heart is torn in two
Dan hatiku koyak menjadi dua
Thinking of days spent without you
Saat membayangkan hari-hari tanpa dirimu
And there is nothing left to prove
Dan tak ada lagi yang perlu dibuktikan

I'm counting all the things I could have done
Kurinci segala yang harusnya kulakukan
To make you see
Agar kau bisa melihat
That I wanted us to be when I go to sleep and dream of
Bahwa aku ingin kita bersama saat kuberanjak tidur dan bermimpi
I want you to know that I'd die for you
Aku ingin kau tahu bahwa aku rela mati untukmu
I'd die for you
Aku rela mati untukmu

BRIDGE
CHORUS

And if you are alone
Dan jika kau sendiri
Make sure you're not lonely
Janganlah kau merasa kesepian
'Cause if you are, I blame myself
Karna jika kau kesepian, aku kan menyalahkan diriku
For never being home
Karna tak pernah di rumah
I know I'm not the only one
Aku tahu aku bukanlah satu-satunya
Who will treat you like they should
Yang akan memperlakukan seperti seharusnya
Like you deserve
Seperti yang pantas kau terima

I'm stuck with writing songs
Aku terus menulis lagu
Just to forget
Hingga lupa