Dalam sepi rasanya aku hanya ingin menangis. Tapi
ada pilu yang lebih dalam terasa didada hingga butir air hanya mengendap
dibawah kelopak mata.
Sepertinya enggan menetes karna tau lelehannya
takkan cukup mampu menggambarkan
seberapa besar sedih yang dirasa.
Ketika beban pilunya kian terasa berat luar
biasa.
Semalam kau bilang kau kehilangan rasa. Kedengaran
seperti itu di sayup sayup telinga.
Aku sedikit tak mencernanya. Hembus angin
yang dingin mungkin sedang memekakkan saraf didalamnya. Mencoba mengaburkan
perihal yang kau ucap. Agar aku tak begitu terkejut dibuatnya.
Kutanya sekali lagi, dengan hati yang sedikit
kacau berharap yang sebelumnya menyelinap dipendengaran adalah salah sangka
dalam perasaan.
Namun sama. Kau ulang lagi kalimat yang
sepertinya senada.
Aku cukup mengerti. Tak perlu kutanya lagi
berkali kali.
Kau mungkin akan bosan karna tau aku pura
pura tak mendengar.
Memang yang kau maksutkan bukan rasa yang
disebut cinta.
Aku tau kau mungkin mulai kelelahan dengan
ketidakpastian.
Aku paham jika mungkin bagimu ujung tak lagi
kelihatan.
Tak ada kita berdua terlihat bersama dalam
tujuan yang kita inginkan.
Tapi kau selalu tau , kau sama masih akan
tetap mencintai bagaimana bentuknya.
Disaat bersama atau berjalan di arah berbeda.
Maafkan aku jika tak menahanmu disisiku.
Aku sangat tau bagaimana peluhmu harus jatuh
saat memperjuangkan.
Aku hanya tak bisa menahanmu dalam hubungan
yang terlihat seperti sia-sia.
Aku tak bisa membiarkan kau terluka terlalu
lama. Biar aku saja yang rasa.
Sebelumnya kau dan aku sudah sama-sama bicara.
Kita sepakat tak ada yang akan kita dapat
selain luka jika memaksa bersama.
Jika kau pikir aku terlalu tega melepaskan. Kau
salah besar.
Kau pikir aku tak butuh jiwa yang besar untuk
rela melepaskan, bahkan ketika yang kuingini adalah hidup bersama dengan kau
yang kuharap sebagai orang terakhir.
Bukan sengaja menyiakan seperti katamu.
Bukan juga dengan sengaja membiarkan hatimu
jatuh terantuk dan kembali patah hingga berdarah. Tetapi bukankah ini perihal kejelasan yang
kau minta sebelumnya.
Kau bilang kita tak memiliki tujuan yang
sama.
Oh tidak. Tujuan kita sama, kau harus tau itu.
Hanya saja kita tak pernah sepakat dengan apa kita berangkat kearah tujuan yang
kau minta.
Kita tak bisa memilih meski pilihan itu
sebenarnya ada.
Ibarat sepatu kanan, kau akan tetap dikanan. Berselisihan
jalan dengan si sepatu kiri.
Keduanya seperti berpasangan meski sebenarnya
mereka tak pernah sama dalam langkah.
Kadang aku masih berpikir apakah berpasangan
haruslah berjalan berdampingan? Dengan langkah yang selalu sama?
Aku selalu dibuat buntu oleh pilihan.
Mempertahankan luka atau melepaskan luka.
Bersama dalam perbedaan dan saling terluka. Atau
menyamakan jalan dan membuat pihak lain yang terluka.
Dahulu kita mungkin pernah saling menguatkan.
Kita pernah sama-sama takut kehilangan.
Kau adalah seseorang yang kucintai dengan
sangat, pemilik pelukan paling hangat.
Kau adalah seseorang yang aku inginkan
lama-lama menikmati hujan.
Tak perlu kemana mana karna bersamamu seolah
semuanya sempurna.
Bersamamu kuharap waktu berjalan dengan
lambat, agar dapat kupandangi matamu lamat lamat.
Menikmati hujan, mengecup segala keresahan
tanpa harus mengatur tujuan.
Namun ini akan jadi saatnya, bersama seseorang lain mungkin akan kau
temukan jalan yang pasti memiliki ujung.
Yang dengannya kau bisa berjalan berdampingan
tanpa takut saling berselisihan keyakinan.
Nanti akan tiba saatnya , ketika kamu mulai
kembali tertawa. Dengan hati yang tak lagi terluka.
Bersama seseorang yang memang seharusnya ada, yang bagimu
hadirnya adalah sebagai jodoh dan takdir dari Sang Maha Membolakbalikan Hati.
Aku lebih dari sekedar yakin bahwa melupakanku
takkan jadi hal sulit bagimu.
Meski bagiku melupakanmu harus lebih dari
sekedar melupakan.
Dan pergi darimu harus lebih dari sekedar
pergi.
Sayang, untuk yang terakhir ijinkan aku jadi hujanmu.
Yang semusim menyejukkan, lalu kau rindukan
saat kemarau mulai panjang dan membosankan.
Rindui aku dalam seduhan kopi pahit dalam senggang
waktu lepas penat kerjamu.
Tersenyumlah, karna meski pahit aku mampu
sedikit membuat kau lebih bergairah.
Aku tau nanti aku takkan lagi dihatimu.
Aku takkan lagi ada sebagai secuil sebab
tawamu.
Yang kutau, meski tak mampu bersatu, kau dan
aku pernah dalam satu perjuangan menghadapi luka karna rindu.
Sisilia Tantri | Banyuwangi, 27 Okt. 15