Untuk kau yang sejatinya tak sedetikpun berhenti berputar dikepala.
Adanya kuanggap sebagai embun pagi yang basah.
Yang pada akhirnya menguap jadi awan atau kan jatuh ketanah.
Sedang aku adalah daunmu, akulah sandaranmu, namun terus menopangmu bukanlah dayaku.
Aku menikmati kau yang menyejukkan, tapi ketika kau harus hilang aku tak bisa melawan keadaan.
Bisa apa aku selain menunggu esok pagi ketika kau kembali.
Jadi begini.
Terlalu banyak hal yang ingin ku bagi. Sekali saja aku ingin kau jadi pendengar setia.
Tapi apa daya segalanya hanya sebatas gemuruh dihati yang sewaktu jadi hujan yang membasahi pipi.
Aku berharap bahwa menatap matamu ketika bicara mungkin akan kutemukan jawabnya.
Jadi sejenak kubayangkan, di bibir pantai itu aku bersandar dibahumu. Bersama sayup angin dan derai ombak yang bergemuruh. Menyamakan gelombang hati, akal, dan pikiran yang kian ricuh.
Jadi sayang, pelankan suara nafasmu. Akan kueratkan jarimu dalam genggamanku.
Tentu saja jika kau ijinkan.
Cukup dengarkan saja aku bicara. Jangan kau menyela.
Aku ingin dengar kau bicara nanti.
Tapi pelan pelan saja, kutunggu hingga kau jernih tanpa emosi.
Karna kau tau pasti ini soal hati.
"Aku bahkan tak apa jika kau merubah hati.
Aku sedang pada proses menikmati luka luka ketika pada saat yg sama ingin kau disisi.
Sebenarnya aku sudah terbiasa. Menahan rindu sendiri. Membaca sisa pesan pesan kita dan menangis dalam sepi.
Sejujurnya merelakan kau dengan seorang yang lain membuat hatiku perih. Logika berkata tak apa, hati sebaliknya.
Tak harus kamu tau. Tapi hadirmu membuatku lupa sedang menikmati luka.
Yang kutau, aku sekejap bahagia. Kelabuku jadi biru. Meski tanpa sadar sedang menggores luka luka baru.
Maaf jika dalam hal ini aku tampak bodoh. Aku yang tak seberapa dibandingkan banyaknya pilihanmu tak berhak menuntutmu ini itu.
Beberapa orang mungkin jadi prioritasmu. Tapi bukan aku.
Kabarmu adalah hal yang ingin ku tau, tapi kau mungkin terganggu jika kutanya setiap waktu. Jadi aku diam dalam setiap kekhawatiran.
Tak menghubungimu bukan berarti aku tak peduli.
Aku hanya takut jadi seseorang yang tak diharapkan. Sebab adaku bukan senyummu.
Ya.. Aku tak berharap akulah segalamu, duniamu. Apalagi akhirmu.
Mungkin aku hanya sebait prosa dalam perjalananmu menulis buku waktu.
Maaf untuk gemuruh perasaan yang sampai hari ini masih membelenggu. Juga beberapa isak isak rinduku yang membebanimu.
Ada saatnya nanti kau akan bosan.
Kau lupa sedang ingin berjuang. Lupa dengan kata kata yang pernah kau ucapkan. Lupa bahwa kau pernah sangat ingin bertahan dalam ketidakmungkinan.
Aku bukan lagi yang kau pilih.
Akan tiba saatnya celotehku yang seperti ini membuatmu risih.
Sementara bagiku ini adalah kata hati yang tak mampu kuucap karna terlalu perih.
Kau akan sengaja menjadi seseorang yang membosankan.
Jadi seseorang yang sengaja mengabaikan. Hingga nanti aku kan berakhir dengan jenuh.
Kau takkan lagi rindu. Sementara aku masih begitu.
Kau menemukan yang baru, sementara aku masih diam pada tempatku yang kepadamu.
Aku akan kembali pada masa menikmati luka sendiri.
Menahan sesak rindu yang kian perih. Menepis rasa rasa ingin jumpa, namun slalu memelukmu dalam rangkaian doa.
Jika saja nanti ada waktu untuk kita berdua. Dapat bersama, berbagi cerita, hingga tua. Selamanya."
.....
Kubuka mata. Kau tak disini. Hatimu entah kemana jauh berlari.
Dan aku terpaku dalam sepi menanti. Karna tampaknya kau punya hati lain untuk pergi.
Kadang aku hanya ingin kau dengarkan ketika hati tak lagi mampu menyimpan sendiri.
Sisilia Tantri | 04 Desember 2015