Wednesday 28 October 2015

Perihal Kejelasan yang Kau Minta Sebelumnya



Dalam sepi rasanya aku hanya ingin menangis. Tapi ada pilu yang lebih dalam terasa didada hingga butir air hanya mengendap dibawah kelopak mata.
Sepertinya enggan menetes karna tau lelehannya takkan cukup mampu  menggambarkan seberapa besar sedih yang dirasa.
Ketika beban pilunya kian terasa berat luar biasa.

Semalam kau bilang kau kehilangan rasa. Kedengaran seperti itu di sayup sayup telinga.
Aku sedikit tak mencernanya. Hembus angin yang dingin mungkin sedang memekakkan saraf didalamnya. Mencoba mengaburkan perihal yang kau ucap. Agar aku tak begitu terkejut dibuatnya.
Kutanya sekali lagi, dengan hati yang sedikit kacau berharap yang sebelumnya menyelinap dipendengaran adalah salah sangka dalam perasaan.
Namun sama. Kau ulang lagi kalimat yang sepertinya senada.
Aku cukup mengerti. Tak perlu kutanya lagi berkali kali.
Kau mungkin akan bosan karna tau aku pura pura tak mendengar.
Memang yang kau maksutkan bukan rasa yang disebut cinta.
Aku tau kau mungkin mulai kelelahan dengan ketidakpastian.
Aku paham jika mungkin bagimu ujung tak lagi kelihatan.
Tak ada kita berdua terlihat bersama dalam tujuan yang kita inginkan.
Tapi kau selalu tau , kau sama masih akan tetap mencintai bagaimana bentuknya.
Disaat bersama atau berjalan di arah berbeda.

Maafkan aku jika tak menahanmu disisiku.
Aku sangat tau bagaimana peluhmu harus jatuh saat memperjuangkan.
Aku hanya tak bisa menahanmu dalam hubungan yang terlihat seperti sia-sia.
Aku tak bisa membiarkan kau terluka terlalu lama. Biar aku saja yang rasa.
Sebelumnya kau dan aku sudah sama-sama bicara.
Kita sepakat tak ada yang akan kita dapat selain luka jika memaksa bersama.
Jika kau pikir aku terlalu tega melepaskan. Kau salah besar.
Kau pikir aku tak butuh jiwa yang besar untuk rela melepaskan, bahkan ketika yang kuingini adalah hidup bersama dengan kau yang kuharap sebagai orang terakhir.
Bukan sengaja menyiakan seperti katamu.
Bukan juga dengan sengaja membiarkan hatimu jatuh terantuk dan kembali patah hingga berdarah. Tetapi bukankah ini perihal kejelasan yang kau minta sebelumnya.
Kau bilang kita tak memiliki tujuan yang sama.
Oh tidak. Tujuan kita sama, kau harus tau itu. Hanya saja kita tak pernah sepakat dengan apa kita berangkat kearah tujuan yang kau minta.
Kita tak bisa memilih meski pilihan itu sebenarnya ada.
Ibarat sepatu kanan, kau akan tetap dikanan. Berselisihan jalan dengan si sepatu kiri.
Keduanya seperti berpasangan meski sebenarnya mereka tak pernah sama dalam langkah.
Kadang aku masih berpikir apakah berpasangan haruslah berjalan berdampingan? Dengan langkah yang selalu sama?
Aku selalu dibuat buntu oleh pilihan.
Mempertahankan luka atau melepaskan luka.
Bersama dalam perbedaan dan saling terluka. Atau menyamakan jalan dan membuat pihak lain yang terluka.

Dahulu kita mungkin pernah saling menguatkan. Kita pernah sama-sama takut kehilangan.
Kau adalah seseorang yang kucintai dengan sangat, pemilik pelukan paling hangat.
Kau adalah seseorang yang aku inginkan lama-lama menikmati hujan.
Tak perlu kemana mana karna bersamamu seolah semuanya sempurna.
Bersamamu kuharap waktu berjalan dengan lambat, agar dapat kupandangi matamu lamat lamat.
Menikmati hujan, mengecup segala keresahan tanpa harus mengatur tujuan.

Namun ini akan jadi saatnya,  bersama seseorang lain mungkin akan kau temukan jalan yang pasti memiliki ujung.
Yang dengannya kau bisa berjalan berdampingan tanpa takut saling berselisihan keyakinan.
Nanti akan tiba saatnya , ketika kamu mulai kembali tertawa. Dengan hati yang tak lagi terluka.
Bersama seseorang  yang memang seharusnya ada, yang bagimu hadirnya adalah sebagai jodoh dan takdir dari Sang Maha Membolakbalikan Hati.

Aku lebih dari sekedar yakin bahwa melupakanku takkan jadi hal sulit bagimu.
Meski bagiku melupakanmu harus lebih dari sekedar melupakan.
Dan pergi darimu harus lebih dari sekedar pergi.

Sayang, untuk yang terakhir ijinkan aku jadi hujanmu.
Yang semusim menyejukkan, lalu kau rindukan saat kemarau mulai panjang dan membosankan.
Rindui aku dalam seduhan kopi pahit dalam senggang waktu lepas penat kerjamu.
Tersenyumlah, karna meski pahit aku mampu sedikit membuat kau lebih bergairah.
Aku tau nanti aku takkan lagi dihatimu.
Aku takkan lagi ada sebagai secuil sebab tawamu.
Yang kutau, meski tak mampu bersatu, kau dan aku pernah dalam satu perjuangan menghadapi luka karna rindu.


Sisilia Tantri | Banyuwangi, 27 Okt. 15

Wednesday 14 October 2015

Rindu Hujan?

Disemburat warna senja aku terdiam.
Ditemani secangkir kopi hitam.
Menunggu hujan.
Lama sudah rasanya tak bersua.
Masihkah hujan selalu sama?
Selalu membawa kenangan.
Kenangan yang hangat sekaligus dingin. Bercampur aroma kopi dan tanah basah.

Aku selalu menyukainya.
Aku selalu menemukan rasa manis disetiap seduhan kopiku yang pahit.
Dan hujan selalu saja sukses memenuhi hatiku dengan hangat kerinduan.
Keduanya bersekongkol membuaiku dengan pahit yang hangat.
Membuat tubuhku tak bergeming. Sedetik kemudian hati dan logika beradu.
Menciptakan hujan kecil disudut mata.
Apakah rindu menemukan jalannya.
Atau hanya kan kembali ke tuannya?
Mungkinkah rindu terlalu lelah dengan jarak?
Mungkinkah rindu mengenal jenuh?
Haruskah aku bertanya pada kopi pahit ini?
Atau haruskah aku bertanya pada ribuan tetes hujan?
Aku terlalu banyak bertanya. Dan tak satupun kutemukan jawabnya.
Kadang kupikir rindu hanya butuh pelukan atau bahkan kecupan.
Dan aku butuh kamu untuk melepas rindu.
Bersama hujan dan kopi pahit yang jadi manis karna adanya kamu.

"Aku berharap rindu tak mengenal jenuh dan tak pernah membenci jarak. Tak peduli apa yang terjadi, kuharap kamu selalu disisiku. Genggam tanganku, karna jika kamu jatuh, aku kan jatuh bersamamu."-seseorang yang mencintaimu.
Banyuwangi, 14102015